Menakar Etika Komite Reformasi Polri: Kritik Mahfud MD dan Tantangan Menjaga Marwah Institusi

Etika Komite Reformasi Polri: Antara Koreksi dan Delegitimasi
Ir. R Haidar Alwi, MT.,(Dok. Ist)

Faktakendari.id, NASIONAL – Menjadi anggota Komite Reformasi Polri adalah amanah kenegaraan yang sarat dengan tanggung jawab etik. Tujuan utamanya bukan sekadar memperbaiki, melainkan memastikan proses pembenahan institusi kepolisian berlangsung dengan cara yang memperkuat legitimasi, kewibawaan, dan kepercayaan masyarakat.

Oleh karena itu, setiap pernyataan di ruang publik harus ditempatkan dalam kerangka perbaikan yang konstruktif dan berdasarkan fakta. Di titik inilah masalah serius muncul ketika Kritik Mahfud MD terhadap Polri justru tampil dengan narasi yang dinilai berpotensi meruntuhkan citra institusi yang sedang ia perbaiki.

Vonis Konstitusionalitas dan Etika Kelembagaan

Ibarat seorang tukang yang ditugaskan memperkuat fondasi rumah, peran anggota komite seharusnya memperbaiki struktur yang retak tanpa merobohkan tiang penyangga. Namun, pelabelan Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 sebagai bentuk “pembangkangan terhadap konstitusi” oleh Mahfud MD dianggap problematik secara Etika Komite Reformasi Polri.

Vonis semacam ini menjadi keras karena disampaikan oleh orang yang berada di dalam tim pembenahan (internal), bukan oleh pengamat independen di luar sistem. Kritik dari dalam memiliki standar etika yang lebih tinggi; seharusnya menempuh jalur internal melalui laporan kepada Presiden sebagai pemberi mandat.

Beberapa poin krusial yang menjadi sorotan dalam pernyataan tersebut antara lain:

  • Tuduhan Praktik Transaksional: Klaim adanya praktik transaksional dalam rekrutmen dan rotasi tanpa disertai putusan pengadilan.

  • Praduga Tak Bersalah: Pernyataan publik yang berpotensi mengabaikan fondasi keadilan sebelum adanya pembuktian transparan.

  • Dampak Reputasi: Narasi yang membangun persepsi negatif destruktif terhadap lembaga penegak hukum.

Paradoks Jabatan Publik dan Jalur Reformasi

Dalam konteks etika jabatan, posisi Mahfud MD menjadi paradoksal. Di satu sisi, ia ditugaskan membantu Polri, namun di sisi lain, pernyataannya justru dianggap membangun delegitimasi. Kritik yang disampaikan tanpa kehati-hatian bahasa dapat berubah dari fungsi korektif menjadi tindakan yang melemahkan institusi negara.

Reformasi yang sehat memerlukan keseimbangan antara keberanian mengoreksi dan tanggung jawab menjaga marwah institusi. Polri memang tidak boleh kebal kritik, namun Polri juga tidak boleh dilemahkan oleh pernyataan pejabat negara sendiri yang seharusnya menjadi bagian dari solusi.

Menuju Kritik Berbasis Data dan Beradab

Menegur bukan berarti menghancurkan. Tugas Komite Reformasi adalah memperkuat fondasi dengan alat ukur yang presisi, bukan memukul tiang dengan palu opini di ruang publik sebelum hukum bekerja.

Yang dibutuhkan saat ini adalah ketegasan yang beradab dan kritik yang berbasis data. Kesadaran etik sangat diperlukan karena setiap kata yang diucapkan membawa konsekuensi institusional. Tanpa itu, niat luhur reformasi justru berisiko meninggalkan puing-puing kepercayaan publik yang jauh lebih sulit untuk dibangun kembali di penghujung tahun 2025 ini.

(*Drw)