Kontroversi KCJB: Luhut Sebut “Sudah Busuk” Sejak Awal, Sorotan Cacat Hukum Jaminan Utang

Kritik Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Luhut Sebut "Busuk"
Kereta Cepat Whoosh/Dok. KCIC.

Faktakendari.id, NASIONAL – Pernyataan lawas Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, yang menyebut Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) “sudah busuk” sejak awal, kembali mengemuka di ruang publik. Pernyataan spontan tersebut dinilai menyingkap berbagai persoalan mendasar yang melilit proyek ini. Persoalan tersebut mencakup cacat konseptual, cacat hukum, hingga dugaan cacat moral.

Proyek yang kini dikenal sebagai Whoosh ini diklaim sebagai cermin dari penyimpangan kekuasaan yang terinstitusionalisasi. Sorotan tajam juga tertuju pada dugaan adanya lingkaran kepentingan yang disebut “Danantara”. Jaringan politik-ekonomi ini diduga kuat menautkan pejabat, pengusaha, dan BUMN dalam simbiosis kekuasaan yang sama. Dugaan ini mengindikasikan adanya masalah struktural sejak proyek ini digulirkan.

Robeknya Aspek Legalitas Jaminan Utang KCJB

Salah satu kritik paling tajam terkait Kontroversi KCJB adalah mengenai fondasi hukum yang digunakan untuk penjaminan utang. Proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) ini disebut hanya berpijak pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Penggunaan PMK ini dinilai sangat bermasalah. Pasalnya, PMK seharusnya bersifat administratif dan teknis, bukan dijadikan instrumen legalitas utama. Namun, dalam kasus KCIC, PMK tersebut justru dijadikan instrumen legalitas utama untuk mengatur jaminan keuangan negara terhadap utang luar negeri. Utang ini dikelola oleh BUMN, khususnya pinjaman dari China Development Bank (CDB).

Penggunaan PMK untuk penjaminan skala besar ini dinilai melampaui kewenangannya. Hal ini menunjukkan kerentanan dalam struktur hukum proyek tersebut.

Pelanggaran Hierarki Hukum Keuangan Negara

Secara hierarki peraturan perundang-undangan, penggunaan PMK tersebut dianggap bermasalah karena melanggar asas lex superior derogat legi inferiori. Asas ini menegaskan bahwa peraturan yang lebih rendah (PMK) tidak boleh bertentangan atau melampaui kewenangan peraturan yang lebih tinggi (Undang-Undang).

Setiap jaminan fiskal negara, terutama untuk utang skala besar, seharusnya wajib tunduk pada peraturan yang lebih tinggi. Peraturan tersebut adalah UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Kedua Undang-Undang ini mensyaratkan adanya persetujuan DPR sebagai representasi rakyat dalam hal penjaminan utang negara. Struktur legal Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dinilai rapuh dan dianggap sebagai bentuk deviasi kewenangan (detournement de pouvoir) atau penyalahgunaan kekuasaan. Kritik ini menggarisbawahi bahwa masalah proyek KCJB bersifat fundamental, bukan sekadar teknis.

(*Drw)