Faktakendari.id, JAKARTA – Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menegaskan DPR RI tidak boleh hanya berwacana.
Ia meminta parlemen segera menggelar rapat teknis. Tujuannya adalah untuk membahas RUU Perampasan Aset dalam waktu dekat.
Permintaan ini menyusul pernyataan Ketua Baleg DPR, Supratman Andi Agtas, yang menyebut RUU tersebut baru akan masuk Prolegnas Prioritas 2025.
Hardjuno menekankan bahwa publik tidak butuh janji. Mereka menuntut aksi nyata. Menurutnya, penundaan pembahasan RUU ini dapat mengancam stabilitas sosial.
“Publik tidak menunggu janji atau wacana. Mereka menuntut aksi nyata,”
kata Hardjuno.
Kondisi masyarakat sudah sangat jenuh. Terutama dengan lemahnya penegakan hukum terhadap koruptor. Jika DPR tetap abai, situasi ini bisa memicu krisis sosial.
Ia mengingatkan untuk belajar dari Nepal, Sri Lanka, dan Chile.
“Kemarahan rakyat terhadap elite yang tidak berubah bisa meledak kapan saja,”
ujarnya.
Pentingnya Memiskinkan Koruptor dan Konsep Illicit Enrichment
Hardjuno menekankan, pembahasan RUU Perampasan Aset harus dilihat sebagai bagian dari strategi nasional.
Tujuannya adalah untuk memiskinkan koruptor. RUU ini bukan sekadar soal penyitaan aset hasil kejahatan.
Namun, ini adalah instrumen moral dan hukum yang sistematis. Ia juga mendorong penerapan konsep illicit enrichment. Konsep ini menindak kekayaan pejabat yang tidak wajar.
Regulasi ini seharusnya digunakan untuk kasus kejahatan berat. Misalnya, mega-korupsi dan kejahatan terorganisir.
Kasus tersebut harus memiliki kerugian negara minimal Rp1 triliun.
Selain itu, ia juga mengingatkan tentang perlunya mekanisme pembuktian terbalik. Ini penting untuk aset yang tidak jelas asal-usulnya.
Mekanisme ini dapat mempercepat proses penyitaan. Hal ini bisa dilakukan meskipun belum ada putusan pidana.
Hardjuno menyoroti lemahnya mekanisme penyitaan yang berlaku saat ini. Saat ini, penyitaan aset hanya bisa dilakukan setelah putusan hukum final (inkrah).
Padahal banyak koruptor yang melarikan diri. Mereka juga mengalihkan aset sebelum proses hukum selesai.
RUU Perampasan Aset Melengkapi Regulasi yang Sudah Ada
Menurut Hardjuno, banyak undang-undang sudah memberi ruang untuk perampasan aset.
Contohnya adalah UU Tipikor, UU TPPU, dan KUHAP. Namun, regulasi tersebut selama ini tidak dijalankan secara konsisten.
“Masalahnya bukan ketiadaan hukum, tapi kemauan menegakkan,”
ujarnya.
Ia menegaskan, RUU Perampasan Aset harus menjadi pelengkap, bukan pengganti.
Regulasi baru ini diharapkan bisa menutup celah hukum yang ada. Selain itu, RUU ini juga memperjelas prosedur.
Ini akan memperkuat efektivitas penegakan hukum.
“UU Tipikor dan TPPU memang ada, tapi implementasinya terbatas,” tambahnya.
RUU Perampasan Aset harus hadir untuk mempercepat. Ini juga untuk mempertegas dan memperluas upaya memiskinkan koruptor.
Mekanisme penyitaan lebih dini dibutuhkan. Itu penting agar aset tidak keburu hilang. Namun, harus ada batasan yang ketat.
- Hanya untuk kejahatan luar biasa.
- Nilai kerugian negara harus besar.
- Harus melalui sidang pengadilan terbuka.
Ini adalah inti penting dari RUU Perampasan Aset.
(*Drw)